Minggu, 27 November 2011

Konsep Kematian


a.       PENGERTIAN
Secara etimologi death berasal dari kata deeth atau deth yang berarti keadaan mati atau kematian. Sedangkan secara defenitif, kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya kerja otak secara permanen. Ini dapat dilihat dari tiga sudut pandang tentang defenisi kematian yakni,
1.      Kematian jaringan, kematian otak
2.      Kerusakan otak yang tidak dapat pulih, dan
3.      Kematian klinik, yakni kematian orang tersebut
Pandangan tentang kematian seiring waktu, pandangn masyarakat tentang kematian telah mengalami perubahan. Dahulu kematian cenderung dianggap sebagai hal yang menakutkan dan tabu. Kini,kematian telah dipandang sebagai hal yang wajar dan merupakan proses normal kehidupan.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan duka cita.
Berduka (kematian) adalah suatu keadaan dimana seseorang atau keluarga mengalami respon manusiawi yang melibatakan reaksi psikososial dan fisiologis terhadap kehilangan yang nyata atau di rasakan (orang,benda,fungsi,ststus dan hubungan). (Diagnosa Keperawatan edisi 6, hal.428). Berduka (kematian) adalah Respons emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Kematian oleh ulama sementara didefinisikan sebagai ketiadaan hidup atau anonim dari hidup. Kematian pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya, sedang kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Kehidupan pertama dialami olehmanusia pada saat manusia menarik dan menghembuskan nafas di dunia, sedang kehidupan kedua saat ia berada di alam barzah, atau kelak ketika ia hidup kekal di hari akhirat.

b.      KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang kematian bukan suatu yang menyenangkan. Namun manusia bahkan ingin hidup seribu tahun lagi. Al-Quran melukiskan keinginan sekelompok manusia untuk hidup selama itu (baca surat Al-Baqarah [2]: 96).
"Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan" (Al Baqarah :96)


PANDANGAN AGAMA ISLAM TENTANG MAKNA KEMATIAN
Agama, khususnya agama-agama samawi, mengajarkan bahwa ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam evolusi manusia, di mana selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.
Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalam memantapkan akidah serta menumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya.
Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang kematian. Rasul Muhammad saw, misalnya bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian).” Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban percaya kepada Tuhan, adalah kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian.
“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak akan dianiaya sedikitpun" (QS Al-Nisa’ [14]: 77)
Kemudian Allah akan berikan kepada kita kebaikan yg besar di kehidupan yg panjang yaitu kehidupan akhirat. Kematian adalah pasti. Alangkah bodohnya kalau kita lbh mementingkan kesenangan sesaat dgn melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti. Alangkah bodohnya manusia yang membuang kesempatan kehidupannya di dunia hingga kematian menjemputnya. Padahal Allah selalu memperingatkan dalam berbagai ayat-Nya bahwa kematian pasti akan datang dan tak tentu waktunya. Jika ia datang tidak akan bisa dimajukan dan dimundurkan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:

لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ
"Tiap-tiap umat memiliki ajal ; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak akan dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya" (al-A’raaf: 34)

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
"Tiap-tiap yg mempunyai jiwa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Untuk itu Allah dan rasul-Nya memberikan wasiat kepada kita agar jangan sampai mati kecuali dalam keadaan muslim"
Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).
Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak (menahan). Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya : “Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu.”
Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai salah satu isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih mulia dan baik dibanding dengan kehidupan dunia.
Memang, Al-Quran juga menyifati kematian sebagai musibah malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya istilah ini lebih banyak ditujukan kepada manusia yang durhaka, atau terhadap mereka yang ditinggal mati. Dalam arti bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi mereka yang mati tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup di negeri seberang.
Kematian juga dikemukakan oleh Al-Quran dalam konteks menguraikan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia. Nikmat yang diakibatkan oleh kematian, bukan saja dalam kehidupan ukhrawi nanti, tetapi juga dalam kehidupan duniawi, karena tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian.
Muhammad Iqbal menegaskan bahwa mustahil sama sekali bagi makhluk manusia yang mengalami perkembangan jutaan tahun, untuk dilemparkan begitu saja bagai barang yang tidak berharga. Tetapi itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian jiwa itu dengan jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,
“Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun” (QS Al-Mulk [67]: 1-2)
Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar